Jakarta, REQNews.com -- Jangan cari nama Tapos di Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie. Sebab, nama Tapos baru muncul tahun 1870-an, itu pun di belakang Tjikempoean of Petinggi, dengan embel-embel ook wel Tapos genaamd, yang artinya disebut juga Tapos.Penulisan Tjikempoean of Petinggi ook wel Tapos genaamd berlanjut sampai tanah partikelir itu dibeli kembali pemerintah Hindia-Belanda tahun 1920, dan menjadi landsdomein atau tanah negara. Artinya, Land Tapos di Onderdistrikt Tjimanggis, Afdeeling Buitenzorg, tidak benar-benar menjadi nama resmi dan digunakan sebagai nama tunggal.Penggunaan nama Tjikempoean of (atau) Petinggi untuk nama Land Tapos di Buitenzorg kemungkinan untuk membedakan dengan dengan Rubberland Tapos milik Cultuurmaatschappij 'Tapos' di Bandung, yang -- menurut berita Indisch courant edisi 6 November 1925 -- dijual ke London Financial Trust dengan harga 190 ribu gulden.Sebelum menjadi nama 'land', Tapos adalah satu dari 12 desa -- menurut Bevolkingstatiestiek van Java 1867 yang disusun Pieter Bleeker -- di tanah partikelir Tjikempoean of (atau) Petinggi. Jumlah penduduk Tjikempoean of (atau) Petinggi saat itu 2.200 pribumi, empat Eropa, dan 18 Tionghoa. Dua kelompok masyarakat terakhir diperkirakan bermukim di Tapos.Tapos sangat jarang muncul dalam pemberitaan koran-koran Hindia Belanda sepanjang paruh pertama abad ke-20. Namun tahun 1948, Desa Tapos muncul dalam pemberitaan dua koran Hindia-Belanda; Het dagblad dan De vrije pers edisi 6 Desember, saat terjadi bentrok antara penduduk dengan 'pasukan liar' yang memaksa Tentara Belanda dan KNIL dikerahkan untuk meredakan ketegangan.Pertanyaannya, di mana Landhuis Tapos?Dalam beberapa iklan di koran-koran Hindia Belanda, rumah pedesaan Tapos sering disebut heerenhuis atau rumah besar. Dalam iklan di Java bode edisi 18 September 1879, misalnya, tertulis voor het Heerenhuis van het Land Tapos saat lelang produk rokok, kuda dan kereta, gerobak dan ternak. Heerenhuis tampaknya sebutan yang lebih cocok.Sesuai namanya, rumah pedesaan ini terletak di Desa Tapos. Dr VI van de Wall memasang foto Landhuis Tapos dalam buku Oude Hollandsche Buitenplaatsen van Java, tapi tak sedikit pun mengulasnya. Oudheidkundig Verslag 1929 dan 1930, yang disusun Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sama sekali tak mencatatnya. Kuat dugaan Landhuis Tapos dianggap tak bernilai arkeologis, atau bukan berasal dari zamannya.Terletak di tepi Sungai Tjikeas, Landhuis Tapos adalah bangunan tunggal satu lantai, bergaya oud Indisch dengan atap tinggi di bagian tengah dan rendah di bagian depan. Tiang-tiang bulat putih rendah menopang kemiringan atap bagian depan dan samping. Tangga dua undak di kiri, kanan, dan tengah, mengantar tamu dan pemilik menaiki teras.Foto KITLV tahun 1930 memperlihatkan tidak ada oprijlaan, jalan dari gerbang menuju bagian depan. Pernah ada taman di bagian depan, yang mungkin tak terurus setelah Land dan Landhuis Tapos ditinggal pemiliknya karena dibeli pemerintah Hindia Belanda dan menjadi landsdomein. Juga tidak ada klokkestand atau menara lonceng. Sekitar rumah tidak mengindikasikan adanya bangunan lain untuk para budak.Peta tahun 1901 menginformasikan adanya penggilingan kopi tak jauh dari Landhuis Tapos. Tidak ada informasi kapan penggilingan kopi dibangun. Jika mengacu Regeerings Almanak voor Nederlandsche Indie, kopi ditanam di Land Tapos sejak paruh pertama abad ke-19. Sempat hilang beberapa dekade, kopi menjadi komoditas tunggal Land Tapos tahun 1900, dan masih ditanam sampai 1918 atau dua tahun sebelum tanah itu dibeli kembali pemerintah Hindia-Belanda.Seperti rumah-rumah tuan tanah Belanda, pintu ganda dengan motif khas, dan bagian atas terbuka untuk udara masuk, serta jendela-jendela tinggi besar, memperindah bagian depan Landhuis Tapos. Sayangnya, tidak ada deskripsi atau gambar bagian dalam rumah. Yang pasti, melihat bentuknya yang tidak terlalu besar, Landhuis Tapos tidak mencerminkan rumah yang menerima tamu menginap dalam jumlah banyak.Kondisi rumah yang relatif baik sampai tahun1930 menunjukan Landhuis Tapos terawat. Pemilik Land Tapos mungkin saja tidak menempati, tapi penyewa tanah berkepentingan dekat dengan kebunnya dan secara berkala mengunjungi rumah ini. Setelah Land Tapos menjadi landsdomein, atau tanah negara, Landuis Tapos tampaknya masih terawat dengan baik. Land TaposAndries Teisseire tak bercerita tentang Land Tapos dalam catatan perjalanan yang diterbitkan tahun 1792. Ini mengindikasikan, Tjikempoean of (atau) Petinggi terbentuk sebagai 'land' setelah pergantian abad. Kemungkinannya, Land Tapos muncul &nbsp;di era &nbsp;Herman Willem Daendels, ketika sang gubernur membelah tanah-tanah Buitenzorg dan menjualnya ke investor.Berita Bataviaasch nieuwsblad edisi 23 Oktober 1928, dalam berita tentang tanaman semut, terdapat kalimat; keesokan hari Departemen Buitenzorg akan tamasya ke Tapos Pondok Gedeh Landen), tempat ditemukannya tumbuhan semut. Kalimat ini mengindikasikan Tjikempoean of (atau) Petinggi, yang kemudian menjadi Land Tapos, semula bagian dari Pondok Gedeh Landen dan dikembalikan lagi ke 'negara' induknya.Saat dijual Daendels tahun 1809, Pondok Gedeh Landen jatuh ke tangan Nicolaas Engelhardt. Sang pembeli kemungkinan mengeluarkan Tjikempoean of Petinggi, seluas 1.639 bouw atau 1.115 hektar, dari Pondok Gedeh Landen dan menjualnya. Pembeli pertama Tjkempoean of (atau) Petinggi tak diketahui, tapi Regeerings Almanak voor Nederlansch Indie 1865 menyebut Erven (pewaris) Van Riemsdijk sebagai pemilik.Lima tahun berikut JM van Alken sempat menjadi pemilik Land Tapos tapi tak lama. Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1876 kembali dimiliki pewaris Van Riemsdijk. Tidak ada penjelasan keluarga Van Riemsdijk yang mana sebagai pemilik Land Tapos.Tahun1896 Land Tapos jatuh ke tangah Egbert Geerlof Daniël Gerhardus (EGDG) Wassink, anak Geerlof Wassink dari perkawinannya dengan Catharina Johanna van Riemsdijk. Johannes Martinus (JM) Wassink, adiknya, bertindak sebagai penyewa. Situasi ini tak lama. EGDG Wassink kemungkinan hanya beberapa kali melihat Land Tapos dan menikmati udara sejuk Landhuis Tapos, sebab pada tahun yang sama, tepatnya 21 November 1896, ia meninggal dunia dan dimakamkan di Tanah Abang.Land Tapos jatuh ke tangan Catharina Gertruide van Delden, istri EGDG Wassink. JM Wassink masih sebagai huurder sampai 1898. Dua tahun kemudian, seperti tertera dalam Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1900, Land Tapos dimiliki JM Wassink, karena perkawinan EGDG Wassink dengan Catharina Getruide van Delden tidak menghasilkan anak.Tahun 1903, dalam berita aksi kejahatan di Soerabaijasch handelsblad 11 Desember, penyewa Land Tapos saat itu adalah Phoa Kim Tjiang. Namun Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1903 mencatat huurder Land Tapos adalah Ong Teng Joe.Tahun 1906 sampai 1912, JM Wassink mengalihkan kepemilikan Land Tapos kepada CG Wassink yang bertindak atas nama Keluarga Van Delden. Dalam Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie tertulis; CG Wassink geb. Van Delden.Tahun 1920, jelang pengambil-alihan Land Tapos oleh pemerintah Hindia-Belanda, De Telegraaf edisi 23 Maret, memberitakan status kepemilikan tanah partikelir itu. Land Tapos, tentu saja dengan Landhuis Tapos di atasnya, ternyata milik dua keluarga; Wassink dan Van Delden. Sebab saat itu Catherine Gertrude Van Delden, janda EGDG Wassink dan pewaris Land Tapos sebenarnya, masih hidup.Tiga tahun setelah transaksi itu, JM Wassink meninggal dunia dan dimakamkan di Tanah Abang. Tahun 1932, Catherine Gertruide van Delden meninggal dunia di Nice, Prancis. Kisah Land Tapos berakhir, tapi rumah pedesaannya -- lebih tepat disebut heerenhuis atau rumah besar -- masih bisa disaksikan sampai Republik Indoneisa berdiri.

Landhuis Tapos dan Kisah Dua Keluarga Landheer Terakhir

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi