Jakarta, REQNews.com -- Ada yang membingungkan dengan dua peta Batavia en Ommelanden dari dua kurun waktu berbeda. Topographischekaart der Residentie Batavia Opgenomen 1866 tak mencantumkan inisial 'LH' di Land Soedimara. Peta 1902 yang dikeluarkan Batavia Topograpische Bureau mencantumkan 'Lh' di pojok atas hamparan tanah bernama Pondok Petjoeng. Pertanyaannya, 'Lh' di pojok itu mengacu pada Pondok Petjoeng atau Soedimara?Iklan di Bataviaasch handelsblad edisi 5 Oktober 1889 setidaknya mengakhiri kebingungan ini. Kalimat dalam iklan penjualan eksekusi itu menyebutkan tanah yang bernama Parang Cornet dan Pondok Petjoeng kini dikenal sebagai Soedimara, terletak di selatan Bataviasche Ommelanden di Blok Q No 31 lingkungan atau distrik Soedimara, terdaftar dalam pajak bumi dengan nomor 5605 dan bernilai 190 ribu gulden.De locomotief edisi 22 Juli 1899, dalam berita penjualan karet di pasar internasional, menulis; "Sampai saat ini, penyadapan kebun karet di dekat rumah pedesaan (landhuis) Soedimara diberikan kepada beberapa penduduk dengan imbalan pembayaran 20 gulden." Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi &nbsp;3 Oktober 1904, dalam berita rencana touring sepeda, menyebut Landhuis Soedimara milik DFS Mulder. Jejak Van den BoschLand Soedimara diperkirakan terbentuk pada dekade pertama abad ke-19, atau setelah VOC bangkrut dan penjajahan Belanda di Pulau Jawa dimulai. Pemilik pertama tak diketahui, tapi situs mijngelderland.nl menyebutkan Johannes van den Bosch -- sebelum menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda -- sempat menghabiskan hari-harinya di Land Soedimara sebelum kembali ke Belanda.Van den Bosch memulai karier militer di Belanda. Ia tiba di Hindia Belanda untuk menjadi letnan satu di garnisun Batavia. Tahun 1801 ia dipromosikan menjadi kapten. Tahun 1808, atas permintaan sendiri, diberhentikan secara terhormat dengan pangkat kolonel. Ia menetap di Soedimara, tanah partikelir miliknya, tapi tak lama. Ia menjual Land Soedimara dan kembali ke Belanda bersama keluarga tahun 1810.Tidak ada catatan Van den Bosch membangun rumah pedesaan di Soedimara. Namun, kecil kemungkinan Van den Bosch tinggal di rumah kayu sederhana selama hampir dua tahun menetap di Soedimara. Ia pasti membangun rumah batu, meski mungkin tak sebesar rumah-rumah pedesaan para tuan tanah di sekujur Ommelanden saat itu.Pembeli Soedimara tak diketahui, tapi Frederick de Haan -- dalam Personalia der Periode van Het Engelsch Bestuur Over Java 1811-1816 -- menulis Antonie Hendrik Smissaert &nbsp;sebagai pemilik Land Soedimara. &nbsp;Smissaert membeli Soedimara tahun 1810 atau saat masih menjadi menantu Cornelis Eckhout, kasir penerimaan umum. Ia tak sempat tinggal di Soedimara karena ditugaskan menjadi ketua Pengadilan Banding di Semarang.Tahun 1811, Smissaert kembali ke Batavia dan bertugas menjadi Juru Sita Ommelanden. Ia sering mengadakan pesta di rumahnya di Molenvliet. Namun, Smissaert tampaknya tak punya waktu berlama-lama di Soedimara dan melihat perkembangan tanah partikelirnya. Selama kekuasaan Inggris di Pulau Jawa, Smissaert ditugaskan ke Jawa Tengah. Sir Thomas Stanford Raffles, menurut De Haan, punya padangan aneh kepada Smissaert. Saat Smissaert menjadi hakim di Semarang tahun 1812, Raffles menulis surat bertanggal 25 September untuk memperingatkan sang hakim agar tidak mengambil bagian sewa pohon karena tidak berhak.Karier terakhir Smissaert adalah menjadi Residen Yogyakarta 1823-1825 atau di tengah Perang Jawa. Ia dipecat Gubernur Jenderal &nbsp; Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies karena kinerja buruk, dan dipaksa kembali ke Belanda. Pemilik Soedimara setelah Smissaert pergi tak diketahui. Kemungkinannya adalah tanah itu, dengan rumah Van den Bosch di atasnya, diambil alih Boedelkamers Batavia, atau Balai Harta Peninggalan, karena tidak ada ahli waris Smissaert yang berada di Pulau Jawa.Ketika kembali ke Pulau Jawa sebagai gubernur jenderal tahun 1830, Van den Bosch tampaknya tak berminat lagi memiliki Soedimara. Ia terlalu sibuk menerapkan dan melembagakan sistem tanam paksa, yang diyakini akan meningkatkan perekonomian Belanda dengan memeras tanah jajahan. Van den Bosch justru tertarik pada Pondok Gedeh Landen yang kini menjadi Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Keluarga PurvisLand Soedimara tak perlu terlalu lama menderita tanpa tuan. Tahun 1833, seperti ditulis Adriaan P. Intveld dalam Het gezin van Cornelia Louisa Intveld en William Purvis, William Purvis -- pemilik Pelabuhan Padang dan kapal Cinderella yang melayani rute London-Padang, membeli Land Soedimara. Cerita Keluarga Purvis di Land Soedimara dimulai.Ada dua versi soal Kapten Purvis -- demikian William Purvis dipanggil. Versi pertama, seperti ditulis Adriaan P. Intveld, sang kapten kembali ke Skotlandia tak lama setelah membeli tanah itu dan meninggal di Ediburgh pada 3 Desember 1854, dimakamkan di Dunfermline. Versi kedua, seperti ditulis Donald Maclaine Campbell dalam Java: Past &amp; Present yang diterbitkan William Heinemann di London, William Purvis membangun bisnisnya di Padang. Tahun 1833 ia kembali ke Batavia dan membeli Land Soedimara, dan konon meninggal di tanah partikelirnya yang ditanami kopi. William Purvis dimakamkan di Tanah Abang.Versi kedua meragukan karena penulis menggunakan kata 'konon'. Versi pertama lebih valid karena Adriaan P. Intveld masih punya hubungan darah dengan Cornelia Louisa Intveld -- istri William Purvis. Konfirmasi lainnya adalah Robert Raaf Purvis, putra pertama William Purvis, mengambil alih semua bisnis ayahnya di Padang dan Land Soedimara tahun 1854, atau pada tahun kematian sang ayah.Raaf Purvis memilih pensiun dini. Tahun 1860-an ia meninggalkan Purvis &amp; Co, perusahaan yang didirikan ayahnya di Padang, dan Land Soedimara. John Purvis mengambil alih Purvis &amp; Co dan Thomas Intveld Purvis mengambil alih Land Soedimara. Namun Regeerings Almanak voor Nedelandsch Indie 1865 dan 1870 mencantumkan John Purvis sebagai pemilik Land Soedimara. Thomas Intveld Purvis baru terdaftar sebagai pemilik Soedimara tahun 1876. Keluarga LorrainThomas Intveld Purvis berkuasa di Soedimara sampai 1885. Tidak ada kabar dia dan keluarganya menetap di Landhuis Soedimara. Ia tidak mengelola Soedimara sebagai perkebunan, dan mengandalkan pemasukan dari persawahan, kebun kacang, dan kelapa. Ia mungkin bosan, dan menyerahkan Land Soedimara kepada Mary Erle (May) Purvis, putri William Purvis Jr.May Purvis hanya sebentar memiliki Soedimara. Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1896 mencatat pemilik Land Soedimara adalah W Lorrain -- manajer Borneo Company of Batavia, salah satu perusahaan tertua di Malaysia yang berkantor di Kali Besar. Saat dibeli W Lorrain, Land Soedimara berada di tangan bank karena May Purvis kesulitan menutupi kerugian akibat kejatuhan harga kopi di pasar internasional.W Lorrain membeli Soedimara dengan dicicil selama beberapa tahun. Namun, ia tak pernah melihat cicilan itu lunas, karena meninggal setahun setelah membeli Land Soedimara. Janda W Lorrain, nama aslinya tak pernah disebut, bersusah payah membayar cicilan itu dari hasil pertanian Land Soedimara. Ia menerima saran bank agar mempekerjakan DFS Mulder sebagai administratur perkebunan.Memasuki abad ke-20, Janda W Lorrain menyerahkan Soedimara ke JMC Lorrain -- saudara almarhum suaminya. Seperti W Lorrain, JMC Lorrain tak lama menjadi pemilik Soedimara. Ia meninggal setahun kemudian, dan Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie mencatat weduwe (janda) JMC Lorrain sebagai pemilik Soedimara. DFS Mulder masih sebagai administratur.Tahun 1918, pemerintah mengambil alih Soedimara yang membentang seluas 1997 bouw atau 1411 hektar dengan penduduk 5965 jiwa. Landhuis Soedimara nyaris tidak ternarasikan, dan hanya dua kali disebut pers Hindia Belanda. DFS Mulder, sebagai pemukim terakhirnya, juga tidak meninggalkan cerita tentang rumah yang mungkin dibangun dan didiami Van den Bosch.

Landhuis Soedimara: Mengenang Jejak Terlupa Gubernur Jenderal Van den Bosch

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi