JAKARTA, REQnews - Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mempertanyakan penetapan tersangka terhadap Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar (TB) oleh pihak Kejaksaan Agung (Kejagung).&nbsp; Diketahui, Tian sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan dua pengacara yaitu Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) terkait dugaan merintangi penyidikan penanganan kasus izin ekspor CPO, timah hingga impor gula yang ditangani Kejagung.&nbsp; Menanggapi hal itu, Ketua IJTI Pusat Herik Kurniawan khawatir bahwa kasus tersebut bisa menjadi preseden yang berbahaya bagi insan jurnalis yang bersikap kritis, serta menghambat kebebasan pers.&nbsp; "IJTI mengkhawatirkan bahwa langkah ini dapat menjadi preseden berbahaya, yang&nbsp; bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjerat jurnalis atau media yang bersikap kritis terhadap kekuasaan. Ini akan menciptakan iklim ketakutan dan menghambat kemerdekaan pers," kata Herik dalam keterangannya yang diterima pada Rabu 23 April 2025.&nbsp; Menurutnya, jika yang menjadi dasar adalah pemberitaan atau konten jurnalistik, khususnya kategori 'berita negatif' yang merintangi penyidikan terkait penanganan perkara oleh Kejaksaan, seharusnya dikoordinasikan dengan Dewan Pers.&nbsp; "Menyampaikan informasi yang bersifat kritis merupakan bagian dari kerja pers dan fungsi kontrol sosial yang dijamin oleh undang-undang," katanya.&nbsp; "Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penilaian atas suatu karya jurnalistik, termasuk potensi pelanggarannya, merupakan kewenangan Dewan Pers," tambahnya.&nbsp; Herik menyebut bahwa sesuai UU Pers, setiap persoalan atau sengketa yang berkaitan dengan pemberitaan wajib lebih dulu diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan langsung menggunakan proses pidana.&nbsp; "Pendekatan represif terhadap kerja jurnalistik berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan mencederai demokrasi," tambahnya.&nbsp; Meski demikian, IJTI mendukung terkait pengungkapan dugaan aliran dana suap dalam perkara ini sebagai bagian dari proses hukum pidana.&nbsp; Tetapi, menurutnya jika yang menjadi dasar adalah pemberitaan yang dianggap menghalangi penyidikan, maka pihaknya perlu meminta klarifikasi lebij jauh dari Kejaksaan dan berkoordinasi dengan Dewan Pers.&nbsp; "Kami menyerukan kepada seluruh insan pers untuk tetap menjunjung tinggi etika jurnalistik serta menjaga independensi dalam menjalankan tugas," ujarnya.&nbsp; Terpisah, Pakar Komunikasi Krisis dari Universitas Indonesia (UI) Jojo S. Nugroho menilai jika framing yang notabene bagian dari praktik komunikasi publik dianggap sebagai penghalang penyidikan, menjadi sesuatu yang berbahaya.&nbsp; "Apalagi jika pemberitaannya tidak mengandung hoaks, tidak mengintimidasi penyidik, dan tidak menghilangkan bukti. Lantas, di mana letak pelanggaran hukumnya?," kata Jojo.&nbsp; Menurutnya, jika memang benar media tersebut dibayar untuk membuat narasi tertentu, maka kasus tersebut masuk ke dugaan pelanggaran etika jurnalisme, bukan pidana.&nbsp; "Tapi apakah itu cukup untuk menjerat orang ke penjara? Bukankah iklan advertorial, siaran berbayar, atau PR placement juga sering dilakukan oleh institusi negara, korporasi, bahkan penegak hukum sendiri?," tanya Jojo.&nbsp; Ia menyebut bahwa di Amerika, praktik menggiring opini bahkan menjadi bagian dari strategi komunikasi legal. Bahkan dalam banyak kasus besar, kata dia, pengacara justru aktif berbicara ke media untuk membangun persepsi publik atas kliennya.&nbsp; "Itu sah. Selama tidak melanggar hukum, tidak menyebar fitnah, dan tidak menghalangi keadilan secara langsung. Indonesia memang bukan Amerika. Tapi kita juga bukan negara di mana setiap kritik bisa dianggap makar," katanya.&nbsp; Jojo mengatakan bahwa akan sangat sehat jika narasi dibalas dengan narasi, framing dibalas dengan klarifikasi, bukan dibalas dengan pasal pidana.&nbsp; Dirinya pun mempertanyakan jika media tidak boleh bersuara, advokat tidak boleh bicara, dan publik tidak boleh curiga, lalu siapa yang mengawasi jalannya proses hukum?&nbsp; Menurutnya, keadilan yang sejati tidak tumbuh dari senyapnya kritik, namun lahir dari ruang publik yang hidup, dari argumen yang saling menguji, dan dari narasi yang bebas tumbuh.&nbsp; "Jika framing bisa membuat orang dipenjara, maka kita sedang mencabut akar demokrasi itu sendiri. Kalau framing bisa dipenjara, siapa lagi yang bisa bicara?," katanya.&nbsp; "Karena kalau negara mulai takut pada suara, maka yang kita jaga bukan keadilan melainkan ketakutan. Dan itu bukan demokrasi. Itu delusi," ujarnya.&nbsp; Diketahui, Kejagung sebelumnya telah metapkan tiga tersangka perintangan penyidikan kasus korupsi yang tengah ditangani yaitu kasus korupsi izin ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), timah hingga impor gula.&nbsp;&nbsp; Mereka adalah advokat Junaedi Saibih (JS) dan Marcela Santoso (MS), serta Tian Bahtiar (TB) Direktur Pemberitaan Jak TV. Para tersangka diduga melakukan permufakatan jahat untuk mengganggu penanganan perkara tersebut.&nbsp;&nbsp; Tersangka JS dan MS disebut memberikan uang sebesar Rp478.500.000 kepada JB untuk membuat dan mempublikasikan pemberitaan yang menyudutkan pihak Kejaksaan.&nbsp;&nbsp; Tersangka Tian mempublikasikan berita tersebut di media sosial, media online, dan Jak TV news sehingga Kejaksaan dinilai negatif, dan telah merugikan hak-hak tersangka atau terdakwa dalam kasus yang ditangani oleh tersangka MS dan JS.&nbsp;&nbsp; Tersangka JS juga membuat narasi-narasi dan opini-opini positif bagi timnya, serta narasi penghitungan kerugian negara yang diungkap Kejagung tidak benar. Narasi tersebut kemudian dipublikasikan oleh tersangka TB dalam bentuk berita di sejumlah media sosial dan media online.&nbsp;&nbsp; Atas perbuatannya itu, ketiganya disangkakan pasal 21 undang-undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah undang-undang nomor 21 tahun 2021 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

IJTI: Penetapan Tersangka Direktur JAK TV Jadi Preseden Berbahaya Jurnalisme

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi