JAKARTA, REQnews &ndash; Pidato <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto" title="Petisi 50 Bukti Nyata Kekuasaan Soeharto di Era Orde Baru">Presiden Soeharto</a>&nbsp;pada 27 Maret 1980 menjadi pemicu perlawan para tokoh penting di Indonesia. Mereka tidak sepakat dengan isi pidato yang cenderung penuh unsur politik dan kekuasaan.
Itu terjadi saat Soeharto menghadiri rapat pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Pekan Baru, Riau. Sebelum rapat dimulai, ia berpidato dengan suara beratnya yang khas. Kemudian keluarlah suatu pernyataan, &ldquo;Saya meminta ABRI mendukung Golkar dalam pemilihan umum."
Selepas pidatonya itu, Soeharto panen kritikan dari berbagai sumber, khususnya para pejuang kemerdekaan salah satunya Mohammad Natsir. Ia mengkritisi pernyataan presiden yang secara terang-terangan menyuruh ABRI tidak lagi memihak pada rakyat.
Kemudian internal militer menjadi terpecah dua, ada yang memilih aman mengikuti instruksi, ada juga yang membelot mengkritisi pernyataan orang nomor satu di Indonesia itu. Rata-rata yang menentang dari kalangan senior militer.
Belum habis satu perkara, Soeharto membuat pernyataan lain yang tidak kalah menyorot perhatian publik. Bertempat di Markas Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), Cijantung, ia mengancam orang-orang yang berani mengkritiknya dengan membawa nama Pancasila, &ldquo;Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila,&rdquo; katanya.
Forum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat (Fosko TNI-AD) yaitu perkumpulan perwira senior, membahas persoalan pelik tersebut. Hasilnya mereka memutuskan untuk melibatkan tokoh-tokoh sipil dalam menyikapi ucapan presiden yang dianggap sudah melewati batas.
Terkumpullah lima puluh tokoh bangsa pada 5 Mei 1980. Mereka membahas terkait pernyataan Soeharto yang mulai meresahkan.
Di hari yang sama terbentuklah Petisi 50 berisi &lsquo;Ungkapan Keprihatinan&rsquo; yang di tanda tangani lima puluh tokoh. Setelah tersusunnya Petisi 50 diharapkan bisa menyadarkan Soeharto agar tidak lupa diri sebagai pemimpin negeri.
Mereka yang termasuk dalam lima puluh tokoh tersebut memiliki risiko tinggi berhadapan langsung dengan penguasa negara saat itu. Petisi itu tiba di Gedung DPR/MPR RI pada 13 Mei 1980.
Sekitar 30 orang dari 50 tokoh yang menandatangani hadir untuk memberikan petisi tersebut kepada Ketua DPR/MPR RI, Jenderal Daryatmo. Kedatangan mereka dipimpin oleh Mohammad Natsir.
Terdapat 6 poin penting di dalam petisi tersebut. Pertama, adanya polarisasi rakyat untuk &lsquo;melestarikan Pancasila&rsquo; dengan yang ingin &lsquo;mengganti Pancasila. Kedua, keliru manafsirkan Pancasila untuk mengancam lawan politik.
Ketiga, tindakan tidak terpuji penguasa melakukan rencana pembatalan UUD 1945. Keempat, meyakinkan ABRI memihak penguasa. Kelima, pengkritikan pada penguasa sebagai simbol anti-Pancasila. Keenam, melontarkan tuduhan-tuduhan mengenai perbuatan jahat di pemilu yang akan datang.
Namun tanggapan Soeharto dingin mengenai petisi tersebut, &ldquo;Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut petisi 50. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut sebagai seorang patriot,&rdquo; katanya.
Niat baik Petisi 50 justru berakhir pilu. Beberapa tokoh dicopot dari jabatannya, mereka semua tidak boleh bepergian ke luar negeri, perekonomian serta bisnis mereka dipersulit oleh pemerintah. Bahkan Soeharto tidak memperbolehkan mereka datang ke acara yang ia hadiri.
Lima puluh tokoh itu masih dikatakan beruntung karena tidak jadi diangsingkan ke Pulau Buru, Kepulauan Maluku, tempat pembuangan tahanan politik. Kendati begitu, kehidupan mereka tetap saja dipersulit oleh pemerintah.
Petisi 50 yang dibuat untuk menyadarkan penguasa nyatanya tidak pernah sampai ke tujuan. Petisi itu gagal mencapai mufakatnya karena kuatnya pengaruh kekuasaan.
&nbsp;
&nbsp;

Petisi 50, Kisah Golkar dan Arogansi Kekuasaan Orde Baru Soeharto

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi